Kamis, 18 Juni 2020

Hello, Dark Tears!


    Apa kau tahu arti sebenarnya dari kata ‘kumpul’? Menyenangkan tidak? Jika menurutmu seperti itu, kurasa tidak untukku. Bagi gadis yang akan menginjak usia remajanya, yaitu 18th. Kau pasti tahu kan apa saja yang akan seorang remaja lakukan di usia seperti itu? Bermain, bermain, dan bermain. Setelah lelah bermain, mereka baru akan terpikir kata ‘belajar’. Tapi, kini? Semua nyawa sedang berada dalam bahaya. Diluar sana, kita tidak tahu kan apa yang akan terjadi? Peruntungan nasib memang. Buruk tidaknya, itu ditentukan sebesar apa usaha yang kita lakukan. Pernah mendengar ‘mencegah lebih baik daripada mengobati’? Itu yang seharusnya kita terapkan kini. Aku yakin, masih banyak manusia memiliki ‘akal yang sehat’ di luar sana. Bahkan, untungnya pemerintah yang kita punya adalah salah satu darinya. Dia menerapkan sistem ini untuk apa? Ya, untuk ‘mencegah’. Mau apa lagi memangnya? Dan aku juga percaya, masih juga banyak manusia yang tak mematuhinya.

    Lalu, siapa korbannya? Salah satunya adalah ‘kami’, para pelajar. Apa akibatnya? Sebagian dari kami mengalami ‘depresi’ berkepanjangan. Jujur saja, aku akan menceritakannya disini. Kuharap kalian membacanya. Tak hanya itu, tetapi juga bisa memahaminya hingga apapun yang kalian lakukan setelah ini bermanfaat bahkan menolong orang banyak.

    Namaku? Marianne. Aku siswi SMA. Aku adalah gadis yang harus tumbuh dewasa tidak pada waktunya. Telah banyak peristiwa yang ku alami. Telah banyak air mata yang ku teteskan. Telah banyak harapan yang kuselipkan dalam doa. Bahkan, telah banyak pula kedengkian dan dendam yang menyertai hidupku. Manusiawi saja, kalian juga pasti pernah merasakannya. Aku tidak membesar-besarkannya, sekali lagi, aku hanya ingin menceritakannya. Tentang depresi yang tercipta dari kebahagiaan.

    Tunggu, aku tadi bertanya kan? Apa arti dari kata ‘kumpul’? Aku sampai mencarinya di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dan aku menemukannya. Kumpul (ber-kumpul) , yaitu bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok yang mana itu berarti ‘tak terpisah-pisah’. Bukannya aku tak tahu, aku hanya tak memahami maksud sebenarnya dari kata itu. Bagiku, aku tak pernah merasakannya. Tak pernah merasakan yang namanya ‘tak terpisah-pisah’. Selalu ada kata ‘perpisahan’ di dalam hidup seseorang. Tapi tidak berulang dua  kali seperti ini kan? Atau memang pada dasarnya memang tak ingin ‘berkumpul’? 
  
    Siapa juga yang suka dengan kata ‘perpisahan’ meski itu harus ada? Haha. Hidup itu unik, seseorang pernah mengatakannya padaku. Seunik itu kah? Ya, kau takkan tahu kan apa yang akan terjadi setelah ini? Benar. Kau hanya tahu apa yang terjadi sebelum ini dan kini, tapi tidak dengan setelah ini.

    Tentang depresi itu, aku juga awalnya tak mengetahuinya. Setelah kuhabis kan berminggu-minggu berada di dalam rumah, barulah aku tahu. Aku mengidapnya, tapi aku harus menahannya. Aku tidak mau dianggap gila. Sulit ya? Haha.

    Aku menyadarinya baru-baru ini. Karena aku suka ‘antropologi’, ilmu yang mempelajari tentang manusia, aku jadi tahu apa penyebabnya. Bahkan, aku bisa mengobatinya sendiri karena aku suka ‘psikologi’, ilmu pengetahuan dan imu terapan yang mempelajari perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah. Menyedihkan ya? Tidak juga, aku anggap itu sebuah usaha dan kerja kerasku untuk ‘mencegah’.

    Aku tak suka berada di satu tempat dalam jangka waktu yang lama. Bukan berarti aku suka bepergian, justru aku benci terlalu sering bepergian. Menurutku, hidup itu harus seimbang. Tapi, aku tak melakukannya lagi. Karena, pada dasarnya kalian hidup ‘berat sebelah’. Kalian hanyalah manusia biasa, yang harus sakit, menderita, dan jatuh sekalipun. Keterpurukan itu bertahan lebih lama dari pada kebahagiaan. Karena itulah dunia. Oleh karena itu, kalian sering menemukan orang-orang yang ‘bertopeng’. Dia terlihat baik-baik saja padahal menderita dan begitupula sebaliknya, dia terlihat menderita padahal dia kurang bersyukur dengan apa yang dimilikinya.

    Dan tentang kebahagiaan itu, aku lupa. Karena singkatnya waktu yang kuhabiskan bersamanya. Dia. Ya, ayahku. Kenapa pandemi ini berlangsung ketika sebelum puasa tiba? Bulan istimewa seperti ini, dan disusul oleh hari kemenangan. Saat masih ‘utuh’, kami sangat menikmati bulan ini. Utuh, dalam artian tak ada yang hilang ; lengkap. Sudah berapa lama ya? 6th? Kurasa selama itu. Dan itu pun masih berlanjut hingga 4th mendatang. Haha. 10th, waktu yang lama? Ya, jika aku terus merenung dan meratapinya. Aku takkan bilang pada kalian, dimana atau masih hidupkah dia. Itu terlalu privasi untukku.

    Sekali lagi, aku hanya akan menceritakan sebuah depresi yang timbul dari sebuah kebahagiaan. Dan itu semua meluap ke permukaan seolah-olah harus kuingat semuanya. Alam bawah sadarku tak mau melupakannya. Melupakan kenangan singkat yang kuhabiskan bersama ayahku. Aku menangis setiap mendengar, menulis atau melihat kata ‘ayah’. Aku iri dengan mereka yang menghabiskan waktunya bersama ‘ayah’ mereka di saat seperti ini. Apakah seharusnya aku mengganti judulnya menjadi ‘rindu’? Karena aku sangat merindukannya di saat seperti ini. Saat dimana seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.

    Saat hidup ini terasa sangat berat, ‘ibu’ biasanya akan menyalahkan ‘ayah’. Saat hidup ini ingin bahagia, ‘ibu’ selalu memikirkan ‘ayah’. Kami pernah terpuruk sedalam-dalamnya. Kualami ini dua kali dalam hidupku selama 17th.

    Malam yang menjadi momok bagiku. Mimpi buruk yang bahkan jika aku mengingatnya, jantungku akan berdegup sangat kencang. Suara berisik, teriakan ‘ibu’, dan banyaknya tamu asing yang datang membuatku terbangun pada malam itu. Sekitar pukul 11 malam, baju merahnya, celana jeans berwarna biru dongker. Sangat jelas kuingat. Berjalan melewatiku yang tediam mematung. Siapa? Tatapan matanya yang tak mau menatapku yang jelas-jelas berada di depannya. Apa aku orang asing baginya? Dan aku tak bisa mendengar jelas setelah itu. Suara tangisan adikku membuat telingaku berdengung begitu keras. Air mataku juga menghalangi pandanganku. Dan juga parahnya badanku mematung kaku.

Jduar!

    Suara pintu yang ditutup dengan perlahan, tapi aku mendengarnya dengan begitu keras bak dibanting. Aku terduduk lemas lalu tertidur dengan sangat nyenyak. Peristiwa yang ‘singkat’ itu, membekas dan menemaniku tumbuh remaja. Tak ada depresi, tetapi aku menjadi sangat pendiam. Aku menyadarinya dan segera beradaptasi sekali lagi dengan lingkunganku. Bayangkan trauma itu terjadi kemarin malam, dan kau harus bangkit pada pagi harinya hingga sore hari. Lalu, pada malamnya kau harus hidup seperti biasa di depan keluargamu agar mereka tak khawatir. Barulah, pada sepertiga malam kau bisa menangis. Itu pun tak boleh terlalu keras, takut mereka akan mendengar dan malah mengasihanimu. Aku tak suka. Karena aku berzodiak Leo, aku tak suka dikasihani. Aku egois, beranggapan bisa melakukan semuanya sendiri. Aku tak butuh bantuan terapi kejiwaan orang lain. Aku bisa mengatasinya sendiri.

    Dan itu masih berlangsung hingga kini. Hingga aku menulis cerita ini dan membagikannya pada kalian semua yang membacanya. Percayalah, aku tidak gila. Bahkan jika kalian melihatku, aku sangat jauh dari kata gila. Aku memiliki banyak sekali teman, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Aku sangat mudah berteman, sangat mudah disukai orang lain dan sangat mudah untuk menjadi yang dibutuhkan mereka.

    Mereka menganggapku sangat ‘beruntung’. Memiliki banyak teman, rasa percaya diri yang tinggi, berprestasi di semua bidang akademik maupun non akademik. Dan mereka juga membutuhkan pengetahuan yang kumiliki. Mereka menganggapku telah memiliki segalanya.

    Tidak ada orang yang ‘sempurna’. Aku tahu maksudnya. Tak ada orang yang benar-benar baik. Tak ada orang yang benar-benar buruk. Tak ada orang yang benar-benar bahagia. Dan juga tak ada orang yang benar-benar terpuruk. Tak ada kebahagiaan dan keterpurukan dengan presentase 50% 50%. Sudah kubilang, hidupmu berat sebelah. Bukan berarti kau harus menyeimbangkannya. Entahlah, aku terlalu banyak berpikir hingga aku sadar ada batas yang tak bisa kupikirkan sekeras apapun aku mencoba meraihnya.

    Sepuluh kali lipat pemikiran yang ada di pikiranku selama masa pandemi. Dan beberapa bisa kujawab, beberapa aku menemukan jalan buntu. Guruku pernah bilang, ada sesuatu yang tak bisa kalian pikirkan yaitu berhubungan dengan Dia yang di atas. Jangan mencoba meragukannya hingga membuat kalian berpikir. Percaya saja dan ikuti semua hukum alam-Nya. Jika masih ada pertanyaan, simpan saja. Pada akhirnya nanti kau akan bertemu dengan-Nya kan?

    Tentang depresi yang disebabkan dari sebuah kebahagiaan. Aku sedang berbicara dengannya, dan itu membuatku depresi karena aku bahagia mendengar suaranya. Terjadi saat aku menulis ini, haha. Pas sekali timingnya, dan aku sedang menangis. Tenang saja, aku menahannya, jadi puasaku takkan batal bukan? Aku hebat dalam hal itu. Efek samping? Ada. Jantungku akan terasa diremas. Jantung kan yang ada di dada bukan hati?

    Masa pandemi seperti ini, membuatku tak tenang. Aku seperti merasa memiliki gangguan baru. Kurasa itu seperti gangguan kecemasan. Aku tidak tahu apa yang kucemaskan. Nafasku akan terasa sesak dan keringat dingin di telapak tanganku. Perasaanku tak tenang. Dan itu hanya bertahan selama 10dtk. Tak lama tapi sering kurasakan.

    Untungnya aku memiliki banyak hobi. Jadi, di masa pandemi seperti ini terapi yang kulakukan sendiri adalah membuat jadwal untuk hobiku. Menulis setiap hari dengan minimal seribu kata per harinya. Menari saat malam hari setelah berbuka puasa. Menyanyi saat tengah malam. Terkadang itu tak teratur tetapi sehari setidaknya aku melakukan itu semua. Saat aku benar-benar lelah dan bosan apalagi penyakit seorang penulis adalah writers block dan penyakit seorang penari adalah stuck, serta penyakit seorang penyanyi adalah saat perekaman. Dan aku memiliki obatnya yaitu, membaca dan menonton film serta membersihkan kamar. Hanya dengan itu akan mengembalikan mood. Aku tipe orang yang jarang melakukan komunikasi online seharian penuh. Terlalu banyak kepalsuan dan aku tak bisa mempelajari tingkah lakunya. Dari seluruh presentase hidupku 90% untuk kegiatanku sendiri, dan 10% untuk membantu orang lain.

    Aku egois, karena tak pernah mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku tak bisa menjadi diri sendiri. Aku tak mau menjadi diri sendiri. Karena depresi ini. Depresi ini butuh udara segar. Jadi, mari kita bekerja sama. Jangan keluar rumah dan jaga kesehatanmu. Biarkan masa ini berakhir dengan cepat. Jangan main-main dengan musibah seperti ini, jika kau mati kau akan berdosa juga karena meremehkan musibah-Nya. Ini pertama kalinya untuk kita tak ada silaturahmi dan tak ada hari kemenangan yang sesungguhnya.

    Aku hanya berharap ini semua segera berakhir, dengan begitu aku punya jalan pengobatan lain untuk terapi kejiwaanku. Terimakasih, sudah mau membaca. Aku harap kau tak menganggapku gila. Aku lebih senang dianggap tak masuk akal daripada gila. Semoga Dia selalu menjagamu dan keluargamu.

🌸🌸🌸

Marianne.

Label: , , ,

Rabu, 17 Juni 2020

Hello!

This is Anne! Aku adalah seorang penulis. Berdomisili di Malang, Jawa Timur. Aku bergelut di bidang thriller, drama dan fan-fiction. Untuk lebih mengenalku silahkan check sosial media milikku and let be friend! @yandaa.anne

Aku akan rajin mengisi blog dengan semua karyaku! Aku punya panggilan khusus untuk pembacaku, yaitu 'My Criminal Readers!' untuk all my thriller story dan juga 'Dark Tears' untuk all my drama story.

And also, jangan lupa juga baca karyaku di kedua app di bawah ini ya~
🌸Joylada >> anne_marianne
🌻Wattpad >> anne_marianne29

Sekian, thankyou!🖤